Jumat, 15 Juli 2011

KANIBALISME JABATAN DALAM REFORMASI BIROKRASI

Oleh: H.A. Azim
Adalah Filosof politik Italia, Niccolo Machiavelli (1469 – 1527), termasyhur karena nasehatnya yang amat jujur dalam beberapa buku. Salah satu karya tulisnya yang paling populer adalah The Prince (Sang Pangeran - 1513). Buku yang dianggap kitab suci oleh sejumlah pangeran kala itu. Napoleon Bonaparte bahkan menjadikan buku ini bantal, sehingga konon ajaran Machiavelli sangat mempengaruhi karakter kepemimpinannya.
Kalangan penganut ajaran Machiavelli, menganggap The Prince sebagai nasehat praktek terpenting buat seorang penguasa atau pangeran (dalam berbagai level dan konteks). Pikiran dasar buku ini, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu-muslihat, licik dan dusta digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Agar berhasil menjalankan taktik ini, seorang pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Jika Anda bertanya, apakah seorang pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai ?.
Dalam bab 17 buku The Prince, Machiavelli menulis: "... Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi ... lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi ... takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset”.
Kalangan penganut ajaran Machiavelli disebut machiavellis. Adanya sifat atau faham yang menjurus kepada ajaran Machiavelli dalam pola kepemimpinan dari penguasa disebut machiavellisme. Gejala machiavellisme pada seorang penguasa selalu ditandai dengan karakter diktator yang kejam. Sebutlah Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, Hitler dan sederet nama pemimpin negara lain. Dalam wajah berbeda, Fenomena machiavellisme kini juga telah merambah ke level kekuasaan bernama kepala daerah, terutama setelah diterapkan kebijakan otonomi daerah (otda) sesuai UU No. 12 Th 2008 (perubahan atas UU No. 32 Th. 2007) tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Salah satu bentuknya, adalah adanya upaya penguasa untuk menyingkirkan semua pihak yang dianggap musuh ataupun bersebrangan dengan dirinya dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpinnya.
Adanya perilaku sewenang-wenang dari oknum kepala daerah memang sejak awal dikhawatirkan oleh sang penggagas, Dr. Ryaas Rasyid, atas lahirnya UU tentang otda tersebut. Penulis ingat, dalam suatu seminar, awal 2001 di Gedung PKK Lombok Tengah, beliau mengatakan, “Dibawah UU No. 14 Tahun 1975 telah melahirkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sentralistik, dimana segala bentuk kebijakan ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Keadaan ini berbahaya bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Karenanya, mesti diatasi dengan terbitnya undang-undang otonomi daerah (waktu itu, UU No. 22 Th. 1999) yang memberikan kewenangan yang luas bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan segala potensi yang dimiliki. Tapi, lahirnya undang-undang baru itu bukan tanpa resiko. Sebab, dengan kewenangan yang luas, dapat memicu bagi timbulnya perilaku primordialisme, yakni faham kedaerahan dan kesukuan yang dapat melahirkan kelompok-kelompok kepentingan. Dalam situasai seperti itu, kepala daerah kemudian menjadi semacam ‘raja kecil’ di daerah yang mengedepankan ego kekuasaan. Keadaan ini, kata Ryaas Rasyid, justru membawa akibat yang jauh lebih berbahaya dibandingkan akibat yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik”. Setelah 12 tahun kemudian, kekhawatiran dari Ryaas Rasyid tersebut menjadi kenyataan, sebagaimana dikatakan Sunardi Ayub, ketua Fraksi Partai Hanura DPR RI, bahwa pola penerapan kebijakan otda telah melahirkan “raja-raja kecil” yang terkadang kehilangan kontrol (Lombok Post, 28/4). Sang pangeran alias “raja-raja kecil” ini acap bertindak semaunya, antara lain, dalam apa yang disebutnya reformasi birokrasi. Celakanya, reformasi birokrasi ini hanyalah kedok untuk melakukan pemberhentian terhadap sejumlah PNS dari jabatan struktural di lingkungan pemerintah daerah. Kabag Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat, menuturkan: “Paling banyak terjadi kasus ketidakadilan pada PNS ketika musim Pilkada. Seorang kepala daerah bisa semaunya memindahkan pegawai yang dinilai bersebrangan dengannya. Ironisnya, pegawai bersangkutan menerima saja tanpa berbuat apa-apa.” (Lombok Post, 10/5). Hal itu dikemukakan terkait pengajuan RUU tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dalam rangka melindungi hak-hak PNS dalam menuntut keadilan agar ke depan dapat mengurangi tindakan kesewenang-wenangan kepala daerah.
RUU Pokok-Pokok Kepegawaian tersebut, secara implesit menjelaskan bahwa tindakan sewenang-wenang oknum kepala daerah terhadap PNS merupakkan kasus nasional. Sebuah penyakit srtuktural pemerintahan yang tengah menjangkiti negeri ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam sambutan tertulis pada Acara Peringatan HUT Korpri, 29 Nopember 2010, memang tegas menghimbau: “Jangan ragu untuk melakukan reformasi birokrasi”. Dalam pelaksanaannya, terdapat fakta membingungkan. Bahwa reformasi birokrasi di instansi pertikal (misal, instasi di bawah Kementerian Keuangan) telah berbuah remunirasi alias peningkatan penghasilan. Tetapi, reformasi birokrasi di lingkup instansi pemda justru mengundang petaka bagi sejumlah PNS, berupa pemberhentian dari jabatan struktural secara tidak prosedural; tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ibarat dipaksa menelan pil pahit tidak karena alasan sakit. Sebagaimana dialami oleh sekitar enam puluh pejabat eselon dua dan tiga di salah satu pemerintah kabupaten di NTB. Para pejabat tersebut diberhentikan dari jabatan kemudian dimutasi menjadi fungsional umum alias staf biasa tanpa alasan jelas. Ini terjadi pada periode kepemimpinan hasil pemilu kada 2004 dan 2010.
Reformasi birokrasi dalam arti remunirasi, mudah dipahami. Ini dapat memberi semangat bagi peningkatan disiplin kerja, sehingga mendorong tercapainya optimalisasi hasil kinerja. Namun, reformasi birokrasi dalam arti pemberhentian dari jabatan struktural, sama sekali tak dapat dipahami dari persfektif apapun. Kecuali Anda berpendapat; oknum kepala daerah telah mempolitisasi jabatan birokrasi Pemda. Caranya, sebagian pejabat diberi promosi pada jabatan tertentu, tapi saat bersamaan, memberhentikan sebagian pejabat yang lain dari jabatannya. Jadi, naiknya karir sebagian pejabat telah mematikan karir sebagian pejabat lainnya. Ini namanya kanibalisme jabatan ! Sebuah kebijakan berbau busuk machiavellisme sehingga sejumlah PNS menjadi tersingkir dan teraniaya. Akibatnya ? Perjalanan karier bagi PNS bersangkutan yang telah dibangun selama puluhan tahun praktis menjadi stagnan. Jelas membuat mereka tak lagi bersemangat. Bahkan, ini yang menyedihkan, marolitas mereka menjadi jatuh di mata masyarakat. Terjadi pula disharmonisasi hubungan kerja antarpara PNS. Bagaiamana tidak ? Jabatan fungsional umum tidak ada dalam struktur organisasi satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Garis komando atau perintah tugas menjadi tidak jelas. Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pun tidak ada. Akibatnya, para pejabat fungsional umum menjadi apatis karena tidak tahu bagaimana harus menjalankan tugas.
Jauh sebelum pengajuan RUU tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebenarnya telah ada PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PNS dalam Jabatan Struktural. PP No. 100 ini seharusnya mampu memproteksi tindakan kesewenangan dari oknum kepala daerah. Ketentuan Pasal 10, bahwa pemberhentian PNS dari Jabatan Struktural, antara lain, karena: a. Mengundurkan diri dari jabatan yang diduduki; c. diberhentikan sebagai PNS; d. diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan fungsional; g. adanya perampingan organisasi pemerintahan; dan lain-lain (sebanyak 10 point). Khusus dalam hal melakukan mutasi terhadap pejabat eselon II, PP No. 100 ini mensyaratkan untuk melakukan konsultasi dan dan mendapat persetujuan terlebihdahulu dari gubernur secara tertulis.
Semua ketentuan tersebut diabaikan, kecuali ketentuan hurup “d”; hal mana jabatan fungsional kemudian diaplikasi menjadi jabatan fungsional umum. Ini keliru. Sebab, nomenklatur Jabatan Fungsional Umum tidak ada dalam struktur organisasi SKPD. Yang dimaksud Jabatan Fungsional pada hurup “d” tersebut adalah jabatan fungsional khusus pada SKPD tertentu. Contoh, Jabatan Fungsional Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, Jabatan Fungsional Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Jabatan Fungsional Pustakawan dan lain-lain. Sangat disesalkan, PP Nomor 100 tersebut tidak memiliki penjelasan tentang maksud jabatan fungsional, terkait dengan ketentuan pada hurup “d”. Akibatnya, pasal tersebut telah disalahgunakan oleh oknum kepala daerah sebagai alasan pembenar atas tindakan memberhentikan sejumlah pejabat dari jabatan struktural kemudian dimutasi ke jabatan fungsional umum. Sebuah jabatan akal-akalan “seperti mahluk jadi-jadian” karena fungsional umum sebenarnya tak lebih dari staf biasa.
Atas berbagai bentuk penyimpangan pelaksanaan otda, sang penggagas awal, Dr.Ryaas Rasyid, dengan tegas menyatakan, grand design otda yang telah diterapkan selama 12 tahun ini perlu dirubah (Lombok Post, 28/4-2011). Senada dengan itu, Jakarta Lawyer Clubs (JLC), dalam sebuah acara talk show forum diskusi di salah satu siaran tv nasional beberapa waktu lalu, merekomendir bagi perlunya merevisi UU No. 12 Th. 2008 ttg Pemda. Alasannya, dibawah UU tersebut, terkait beberapa pasal yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, dinilai sebagai biang kerok atas mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada yang harus dibayar oleh masing-masing kandidat kepala daerah. Menurut Sukardi Rinakit, dari sebuah lembaga survey independen, dari 156 pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia yang dijadikan sampel, diketahui masing-masing calon kepala daerah rata-rata mengeruk dana antara Rp. 70 milyar sampai Rp. 100 milyar untuk pilkada gubernur/wagub. Sedangkan untuk Pilkada bupati/wabup dan wali kota/wakil wali kota berkisar antara Rp. 30 milyar hingga Rp. 50 milyar. Akibatnya, ketika sejumlah kandidat berhasil terpilih menjadi kepala daerah kemudian terjebak dalam perangkap pola kepemimpinan balas jasa. Penjelasannya sederhana, bahwa mahalnya biaya Pilkada telah memaksa setiap kandidat untuk menggalang dana dari berbagai pihak, termasuk dari sejumlah oknum PNS (yang menjadi gost support alias pendukung gelap). Ketika kemudian berhasil menjadi kepala daerah, tentu dituntut tanggung jawab moral untuk membalas jasa terhadap sejumlah pihak (termasuk dari kalangan gost support, yakni kalangan PNS ). Imbalan jasanya, antara lain, tentu saja berupa pemberian jabatan di birokrasi Pemda.
Akhirnya, Kalau sejumlah diktator telah menerima hukuman, seperti Saddam Hussein yang dipancung pada tiang gantung, itu adalah harga yang harus dibayar atas perbuatannya. Sementara itu, orang-orang di Kota London, Inggris, menggunakan kata olld noc yang berarti setan (diambil dari nama depan: Niccolo Machiavelli) untuk menghina setiap orang berbuat jahat. Lantas, adakah kata olld noc ini juga pantas untuk mengecam para machiavellis oknum kepala daerah yang telah berbuat aniaya pada sejumlah PNS ? Pastinya Anda bijak menilainya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar