Minggu, 24 Juli 2011

JODOH YANG BERBELOK ARAH


Oleh: H.A. Azim
      Rasa persaudaraan yang tinggi  menjadi sifat baik warga kampung yang patut dipuji. Karenanya, ketika salah seorang diantaranya mengalami muisibah sakit dan tengah dirawat inap di RSU Mataram, segera menunjukkan rasa empati dengan cara membezuknya.  Sore ini sekelompok warga berangkat membezuk dengan menggunakan kendaraan roda empat. Dalam rombongan ini terdapat seorang gadis cantik benama Rini. Gadis kampung ini tampak mengenakan pakaian terbagus dan bersolek cukup mencolok. Terkesan seperti hendak mau ke acara pesta.  Tak ada yang menduga kalau gadis ini sangat rindu pada sang pacar bernama Basri. Pemuda sekampung yang kini tengah kos di Mataram guna menuntut ilmu.  Ia berharap bisa bertemu di tempat perawatan Adi. Ya, siapa tahu ?  Bagi Rini, setiap kemungkinan selalu bisa terjadi.
      Sekitar satu jam menempuh perjalanan dari Praya, mobil yang mengangkut Rini akhirnya tiba di RSU Mataram. Semua penumpang turun dan langsung meninggalkan kendaraan. Rini berada paling belakang namun masih jua berhenti sejenak dan melongok ke kaca spion mobil. Rupanya ia hendak memeriksa wajah. Ia tampak mengusap-usap pipinya yang montok. Seorang teman gadisnya, Sopiah, yang berada dua jurus di depan tiba-tiba berbalik lantas dengan tingkah gemas menarik lengan Rini. “Entar ketinggalan. Mau diculik ?” sergah Sopiah sambil menggandeng Rini dengan langkah dipercepat, tak mau berjarak jauh dengan kelompoknya yang berada di depan.
      “Eh, gemana nih”, Rini menunjuk wajahnya yang tampak mulus agak mengkilat. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdegub kencang.
      “Usah kuatir. Tak ada yang membantah kecantikanmu”, puji Sopiah tanpa menengok. Mendengar ini, Rini tersenyum girang, membayangkan betapa senangnya Basri bila sesaat lagi benaran bertemu.
      Tiba di ruang perawatan yang sempit, tidak semua pembezuk bisa masuk. Mereka masuk secara bergiliran menyalami Adi yang tidur tergolek lemah. Di saat silih-berganti menyalami Adi, tampak seorang pemuda menyelinap keluar ruangan, begitu melihat Rini. Siapa lagi kalau bukan Basri, sang kekasih yang selama ini dirindukan Rini.
      “Aku sudah menduga kalo kamu akan datang membezuk”, sapa pemuda itu, amat girang.
      “Aku juga berharap kalo akan bertemu di sini. Karna kupikir sebagai teman, kau pasti ada di samping Adi. Lagi pula, tempat kosmu tak jauh kan dari rumah sakit ini ?”, Rini mencoba menebak.  
      “Kau benar. Oke, kamu salami dulu Adi, baru kita pergi jalan-jalan, sementara yang lain tetap berada di sini”, Mendengar tawaran ini, Rini tampak tertarik. Ia pun melangkah menemui Adi sekedar menyelaminya.
      “Aku ada perlu sebentar di luar bersama Kak Basri”, berucap begini pada Sopiah, Rini tampak tak sabaran melangkah keluar menemui pacarnya itu. Keduanya lantas pergi.
      Melihat itu, Sopiah sempat merasa kalau tindakan pasangan kekasih, Basri dan Rini, sebagai gelagat tak baik. Ya, di saat membezuk teman yang tengah menderita sakit, bagaimana bisa tega memanfaatkannya buat bersenang-senang ? Keduanya memang dimaklumi sebagai sepasang kekasih. Tapi, Sopiah tetap menganggap hal itu sangat tak pantas. Itu sangat tidak etis. Tapi disisi lain, ia tak sanggup menegur Rini karena khawatir temannya itu salah tanggap. Khawatir ia dibilang iri ! Takut kalau gara-gara menegur bakalan merusak hubungan persahabatannya.  
       Mengendarai sepeda motor, Basri membonceng kekasihnya ke arah Jalan Udayana. Jalan sepanjang beberapa kilometer yang kiri-kanannya merupakan area kuliner lesehan khas makanan sasak. Buka setiap hari pada sore dan malam yang selalu ramai oleh pengunjung. Tempat kongko-kongko dan senda-gurau kaum muda-mudi. Si gadis kampung Rini merasa  senang bisa menikmati jajanan lupis, terbuat dari beras ketan yang kenyal dan lengket pada setiap gigitan. Pengalaman mengesankan karena disantap bersama sang  kekasih.
      Sambil mmencicipi teh hangat, Basri memandang ke wajah pacarnya yang putih kemerahan. Lalu berucap mesra, “Mudahan saja ini bisa berlanjut sampai jenjang rumah-tangga esok.”
      “Aku bahkan membayangkan bisa membuat kue ini buat kusajikan bila telah berumah-tangga bersamamu”, sambil tersenyum Rini mengucapkan kata-kata   ini.
      “Ah, kalo saja kuliahku telah selesai, aku sudah tak sabar lagi ingin menggendongmu ke ranjang pengantin”, rayu Basri, membuat darah gadis itu berdesir hebat.
       “Kuharap kau bisa membuktikan kata-kata itu. Berapa lama sih, lulusnya ?”
      “Tinggal beberapa bulan lagi, pokoknya jangan kuatir”, kata Basri sambil melirik jam tangannya.
      “Ayolah, kita kelamaan di sini, kasian mereka yang menunggu di rumah sakit”.
      “Oke”. Berucap begitu, Basri membayar pesanan yang telah disantap kemudian meninggalkan tempat itu.
      Setibanya di rumah sakit, keduanya buru-buru ke ruangan tempat Adi dirawat. Ternyata para pembezuk yang bersama Rini tadi sudah pulang. Terang saja membuat Basri panik. Bagaimana harus mempertanggungjawabkan keberadaan Rini ?
***
      Mengetahui putrinya tidak ikut pulang bersama rombongan, membuat Bu Ijah, ibunya Rini, menjadi kaget. Lebih kaget lagi, ketika Sopiah nyerocos saja pada orang-orang di kampung kalau Basri yang membawa Rini untuk diajak kawin.  Bu Ijah pada awalnya mencoba menerima keadaan ini. Namun, Bu Salmah, ibunya Basri, justru jadi berang. Ia sejak awal, selama Basri berhubungan cinta dengan Rini,  tak pernah memberi restu pada putranya. Menurutnya, Rini itu gadis kampung yang tak tamat SD. Ini tak sebanding dengan putranya yang sebentar lagi lulus perguruan tinggi, jadi sarjana .
      “Pokoknya aku tak sudi, silakan jemput anakmu dan biarkan Basri melanjutkan kuliahnya !” kata Bu Salmah penuh emosi di depan Bu Ijah. Kedua ibu ini hidup bertetangga di Kampung.
      “Siapa suruh anakmu mau sama gadis tak sekolah ?!” jawab Bu Ijah tak kalah kalap.     Merasa  dihina di hadapan orang ramai, Bu Ijah tak kuat lagi menahan emosi. Rasanya ia mau menjambak rambut wanita tua yang banyak omong itu. Tapi, ia mencoba bersabar.  Dilihatnya satu per satu warga yang menonton pertengkaran ini. Ya, di situ seorang pemuda tanggung menampakkan wajah.
      “Udin !” Bu Ijah memanggil setengah berteriak. “Kamu segera berangkat cari adikmu dan bawa pulang,” pinta Bu Ijah. Mendengar itu, Udin tanpa pikir panjang untuk melaksanakan permintaan bibinya itu.  Ia ambil sepeda motor lalu meluncur ke Mataram.  
      “Sudahlah, jangan banyak bacot ! Sebentar juga anakku bakalan kembali ke rumah”, bentak Bu Ijah sambil masuk rumah,  membanting pintu. Ia tak ingin jadi tontonan warga sekampung.
     Mengenadari sepeda motor dengan kecepatan tinggi ditengah cuaca malam yang dingin, membuat tubuh Udin menggigil. Malam sudah mulai larut ketika tiba di Mataram. Tidak bertemu di tempat perawatan Adi, lantas Udin menemukan adik misannya, Rini, di tempat kos Basri. Terang-terangan Udin menunjukkan wajah kesal pada Basri yang menjadi biang kerok terjadinya keributan di kampung. Ia melihat Rini tengah menangis tersedu di kamar kos Basri tanpa kejelasan sikap Basri.
      “Kalian mau apa dengan cara begini ?” tanya Udin, melototi Basri.
      “Kami hendak kawin”, jawab Basri terdengar pelan, terkesan amat ragu.
      “Bagaimana itu bisa kamu lakukan, sementara ibumu mengomel tak setuju !”
      “Bawa aku pergi”, pinta Rini, tak suka kalau ibunya Basri tak merestui.
      Membayangkan ibunya yang sangat murka bila mengawini Rini, Basri tak berusaha mencegah, bahkan ia tampak pasrah ketika akhirnya Rini duduk di belakang Udin, mengangkangi sadel  sepeda motor. Rini bahkan pergi tanpa bersalaman, tidak pula berucap kata  barang sepatahpun. Hal yang membuat Basri jadi bengong.
      Sampai jauh malam, Udin yang ditunggu-tunggu dan diharapkan membawa Rini pulang tak menampakkan batang hidung. Tak pelak membuat Bu Salmah resah, khawatir kalau Basri nekat untuk kawin dan tak memberikan Udin membawa Rini pulang. Bu Ijah pun susahnya tak ketulungan karena memikirkan nasib putrinya yang semata wayang. Entah bagaimana ceritanya, ketika tiba-tiba terdengar kabar bahwa Udin yang mau mengawini Rini. Sontak terdengar tangisan hesteris Bu Ijah, memecah keheningan malam. Membuat warga kampung yang tadinya sudah tidur pulas menjadi bangun dan berkerumun lagi guna mencari tahu apa yang terjadi. Rupanya Bu Ijah tak mau terima kenyataan jika putrinya yang cantik harus dikawini oleh Udin. Pemuda berperawakan kurus agak lengkung dengan wajah jelek pula.
      Belakangan baru diketahui kalau Rinilah yang justru memaksa kakak misanya itu untuk kawin dengannya karena tak kuat menanggung rasa malu. Baginya, kawin dengan Udin, sekalipun tak saling mencintai, menjadi jawaban atas sikap Bu Salmah yang telah menolak dirinya sebagai menantu. Hal yang membuat Bu Ijah pasrah.  Karenanya, ketika tiba di Wilayah Praya, sepeda motor yang dikendarai Udin tidak membawa Rini ke Kampung kediamannya, melainkan berbelok arah menuju kampung lain, tempat tinggal salah satu keluarga dari Udin. Di situlah keduanya bermalam sampai keesokan pagi, saat harus memberi kabar bahwa keduanya siap melakukan pernikahan.***    
   
       
      
         
          
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar