Jumat, 08 Juli 2011

HARIMAU LEPAS DARI KANDANG Sebuah Analog Kebebasan Pers

Oleh: H.A. Azim.
Bulan ini, tepatnya hari ini, 9 Februari, bangsa kita memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Adakah yang berubah (kemajuan) dari pers kita ? Sebuah pertanyaan klise, namun terasa penting. Menjadi penting, setidaknya atas satu alasan utama, bahwa pers adalah salah satu pilar dari bangunan demokrasi. Karenanya, wajah pers suatu bangsa mencerminkan karakter demokrasinya. Menurut Wilbur schramm dalam Libertarian Theory (Teori Pers Bebas): “pers berfungsi menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah, media digunakan oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan ekonomi, melalui pasar ide yang bebas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Sepertinya teori ini telah merepresentasikan pers kita hari ini. Bahwa pers kita telah merdeka dari segala bentuk pengekangan (belenggu) pihak manapun, termasuk dari rezim penguasa. Kemerdekaan pers sesungguhnya hak konstitusi rakyat (Ps. 28f UUD ’45). Jadi, Anda jangan berpikir kalau kemerdekaan pers ini merupakan hadiah dari rezim penguasa.
Kemerdekaan pers kemudian dilegitimasi dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (kemudian disebut UU Pers). Substansi UU Pers ini secara operasional telah memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi berjalan dan berkembangnya profesi jurnalistik di negeri ini. Kalaupun terjadi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik (KEJ) menurut versi publik, hal ini menjadi otorita pihak Dewan Pers untuk memberikan penilain akhir dalam menentukan adanya tindak pelanggaran terhadap KEJ oleh wartawan. Dan, sanksi atas pelanggaran KEJ diberikan oleh Dewan Pers dan/atau perusahaan pers (Ps. 7 ayat 2 UU Pers). Dari 11 point mengenai KEJ, hampir semuanya menguntungkan insan pers (29 Asosiasi Wartawan) yang ditetapkan secara sepihak oleh Dewan Pers. Jika ada pihak yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan, maka ada hak jawab yang disediakan sebagai Ceck and balancis (penyeimbang) antara pihak pers dengan publik. Penyeimbang berupa Kolom Surat Pembaca itu adalah ruang publik yang disediakan pihak media massa. Sebuah kolom berukuran kecil di pojok atau di pinggir halaman yang jarang mendapat perhatian untuk dibaca. Kalaupun sampai ada kasus hukum yang diteruskan ke pengadilan, wartawan memiliki hak tolak dalam memberikan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran KEJ. Alhasil, UU pers ini kian memperkuat kesan; ”kini para wartawan bak harimau lapar yang lepas dari kandangnya (belenggu kebijakan rezim lama)”. Lihatlah, bagaimana ia (pers) demikian ”buas” menelan habis mangsa(obyek pemberitaan)nya. Jangankan Anda, seorang SBY yang notabene seorang presiden dengan segala kehormatannya, pun diberitakan sedemikian sadis. Anda saksikan di media elektronik dan cetak mengenai demo yang membawa seekor kerbau, dimana badan kerbau itu ditulisi: ”Su-Ba-Yu” (hurup kapital jelas mengarah pada SBY). Ditambah pula dengan foto Presiden SBY yang ditempel pada kepala dan pada pantat kerbau betina itu. Lalu, kerbau itu diteriaki ”maling, maling, maling...!” oleh para pendemo. Sebuah fakta, betapa pers kita tidak lagi bisa memilah dan memilih, mana berita yang pantas dan tidak pantas untuk disiarkan. Gaya pemberitaan seperti itu adalah anti tesis dari substansi UU Pers, dimana: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah” (Pasal 5 ayat 1)
Sistem pemberitaan pers yang tidak berpegang pada norma hukum cendrung bersifat propokatif dan mengacak-acak hak privacy. Bahkan (meminjam istilah Jenderal Wiranto), pers kerap membunuh karakter orang, termasuk publik figur. Orang yang tadinya Anda kagumi, boleh jadi dibenci sampai mati bila pers telah memberitakannya jelek. Sebuah pembunuhan karakter ! ”Lebih baik aku menghadapi seribu tentara dengan pedang terhunus dari pada berhadapan dengan (tulisan pena) seorang wartawan”, demikian Napoleon Bonaparte yang terkenal gagah berani di medan perang itu menggambarkan kehebatan (pengaruh) pers. Ini dikarenakan, pers dengan kemampuannya menggiring opini publik, dapat mengadili lewat pemberitaan sedemikian rupa. Sebutlah dalam memberitakan suatu kasus hukum. Seharusnya pers menganut kaidah hukum, yakni tidak boleh menyebut nama lengkap tersangka, melainkan menggunakan nama inisial dan tidak menayangkan wajahnya. Tetapi, kaedah hukum ini dilanggar begitu saja. Cara ini jelas saja dapat membentuk opini publik; seakan-akan seorang tersangka telah menjadi ”terpidana” dimata publik. Sang tersangka pun langsung mendapat sanksi sosial dari publik. Padahal, hakim sendiri belum menyidangkan kasus hukumnya. Begitulah, pemberitaan pers itu persis seperti anak panah. Sekali lepas dari busurnya, tak akan pernah bisa ditarik kembali. Sebab, pers adalah salah satu bentuk komunikasi massa yang bersifat satu arah. Beda dengan komunikasi tatap muka yang bersifat timbal-balik, dimana arus pesan akan berjalan dari dua arah dalam seketika antara komunikator dengan komunikan. Sedangkan pada komunikasi massa (lewat media), segala bentuk (pesan) informasi tidak bisa direspons seketika oleh publik. Artinya, sekali orang diberitakan jelek, tak mungkin dipulihkan nama baiknya hanya dengan hak jawab yang disediakan pihak pers pada terbitan (siaran) di hari lain. Fakta ini boleh jadi membuat Anda menilai, bahwa hak jawab yang diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan, hanyalah ”akal-akalan” pihak pers agar dianggap berlaku adil. Benarkah ? Pastinya Anda bijak menilai hal ini.
Akhirnya, Anda mungkin dapat menghindar dari terkaman harimau yang lepas dari kandang dengan cara bersembunyi atau berlari sekencang-kencangnya. Tapi, Anda tidak pernah bisa lari dari kejaran wartawan bila diketahui berbuat jahat. Maka dengarlah nasehat orang bijak, bahwa satu-satunya cara melarang wartawan agar tidak memberitakan hal buruk tentang Anda adalah: Berusahalah tetap berbuat baik. Selamat buat pers kita !***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar