Senin, 20 Juni 2011

BUI MENGINTAI ATAS MAHALNYA PILKADA

Oleh: H.A. Azim

Adalah Jakarta Lawyers Club (JLC) dalam acara talk show, forum diskusi, di tvOne beberapa waktu lalu, membahas; Mahalnya Pilkada (pemilihan kepala daerah). Tentu saja menarik. Sebab, bicara blak-blakan tentang betapa besarnya dana yang harus dirogoh pasangan calon kepala daerah untuk mengikuti Pilkada. Sedemikian mahalnya, sampai menempatkan Pilkada dalam sebuah analogi bisnis industrialisasi karena terjadi transaksi uang dengan berbagai pihak untuk menghasilkan produk bernama dukungan. Jika kandidat kepala daerah berada di luar partai politik (Parpol), maka transaksi awal dimulai dengan pihak Parpol untuk membeli kendaraan politik yang akan megantarkannya ke arena laga Pilkada. Mengendarai Parpol (tak jarang lebih dari satu), sang kandidat terus berkeliling melakukan transaksi dengan sederet pihak lain. Mulai dari perusahaan pers, media cetak dan elektronik, organisasi kemasyarakatan dengan seabrek kegiatan pertemuan, sampai kepada transaksi secara personal dengan anggota masyarakat (calon pemilih). Yang disebut terakhir paling senang dilakukan oleh tim sukses di lapangan. Celakanya, sebagian dari tim sukses ini adalah makelar sehingga uang yang seharusnya dibagi-bagi ke massa pendukung sebagiannya diembat buat keuntungan pribadi.
Itu hanyalah sedikit contoh dari begitu banyak bentuk transaksi uang yang dilakukan, sehingga kandidat pasangan kepala daerah harus membayar proses Pilkada dengan harga amat mahal. Menurut Sukardi Rinakit, dari sebuah lembaga survey independen, dari 156 pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia yang dijadikan sampel, diketahui bahwa masing-masing calon kepala daerah rata-rata mengeruk dana antara Rp. 70 milyar sampai Rp. 100 milyar untuk Pilkada gubernur-wagub. Sedangkan untuk Pilkada bupati-wabup dan wali kota-wakil wali kota berkisar antara Rp. 30 milyar hingga Rp. 50 milyar. Sedangkan Mendagri, Gamawan Fauzi, menyebut Rp. 60 milyar hingga Rp. 100 milyar yang dihabiskan oleh calon kepala daerah untuk dana kampanye (http//monitor.com - 4/5).

Bila satu pasangan calon kepala daerah mengeluarkan biaya Pilkada, sebutlah Rp. 50 milyar, ini jumlah yang pantastik. Bayangkan saja, bila Rp. 50 milyar itu dideposito pada bank dengan bunga 0,5 % per bulan, maka Anda akan memperoleh Rp. 250 juta setiap bulannya. Ini sama dengan berlipat-lipat kali besar gaji bulanan gubernur. Sebab menurut aturan, gajinya cuma Rp.8,7 juta per bulan. Sedangkan gaji bupati hanya Rp.6,2 juta. Kecuali Anda membayangkan adanya tambahan penghasilan lain-lain yang syah berupa insentif. Dari sumber ini, menurut Gamawan Fauzi, diperoleh antara Rp. 34 juta sampai Rp.90 juta setiap bulan (menurut kemampuan APBD masing-masing daerah – pen). Gamawan Fauzi mencontohkan besarnya penghasilan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, yang mencapai Rp. 100 juta setiap bulan dari gaji dan tambahan lain-lain. Berdasar perhitungan ini, Fauzi Bowo, hanya memperoleh Rp. 1,2 milyar setahun atau Rp. 6 milyar selama 5 tahun masa pemerintahannya (http//monitor.com – 4/5). Kabar baiknya, saat ini Kemendagri tengah mengkaji kemungkinan dinaikkannya gaji kepala daerah (Nurani Rakyat, 11/3). Yap, jangan cepat tergiur ! Biarpun gajinya naik seratus persen, akan sangat bijak jika Anda mempertimbangkan keluh-kesah mantan Gubernur DKI Jakarta, Surjadi Sudirdja, dalam suatu wawancara tv, berikut: ”Kalah dalam Pilkada jadi bangkrut karena telah menghamburkan uang secara sia-sia. Sedangkan bila menang pun jadi rugi, karena dana yang dihabiskan tidak akan pernah kembali dalam lima tahun masa jabatan”. Tentu saja bila melaksanakan tugas secara benar menurut aturan.
Lantas, bagaimana upaya kepala daerah terpilih untuk mengembalikan dana yang telah dihabiskan pada Pilkada dalam lima tahun masa jabatan ? Anda tidak akan pernah tahu jawabannya sampai mendapati fakta; sejumlah kepala daerah mengakhiri masa jabatannya di dalam sel bui gara-gara tersangkut kasus korupsi. Menurut Adnan Tupon Husodo, aktivis ICW (Indonesia Corruption watch) bahwa dalam kurun waktu 2004 - 2010, tercatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur, 17 wali kota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati dan 8 wakil wali kota. Estimasi kerugian negara mencapai Rp 4,8 triliun. Ia menambahkan, bahwa hampir setiap hari ada laporan yang masuk ke ICW mengenai dugaan tindak pidana korupsi oleh oknum kepala daerah. Karenanya, diluar angka yang mengalami proses hukum tersebut, masih ada puluhan kepala daerah lainnya tengah menanti giliran keluarnya ijin dari presiden untuk keperluan pemeriksaan.
Fakta tersebut tentu tidak mendapat tempat dalam kerangka penyelenggaraan good Goverment yang mengedepankan asas demokrasi, transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum dan HAM. Terjadinya kasus tindak pidana korupsi oleh sejumlah kepala daerah, diduga gara-gara pemberlakuan terhadap UU 12 Tahun 2008 (perubahan atas UU 32 Tahun 2004) tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebuah peraturan yang populer dengan sebutan UU Otda (otonomi daerah). Karenanya, sang penggagas UU Otda, Dr. Ryaas Rasyid menyatakan, grand design otda yang telah diterapkan selama 12 tahun ini perlu dirubah (Lombok Post, 28/4).
Pasal-pasal yang mengatur tentang pelaksanaan Pilkada dalam UU 12 tersebut harus direvisi agar tidak lagi menyelenggarakan Pilkada berbiaya terlalu mahal. Diantaranya; tentang transaksi keuangan antara calon pasangan kepala daerah dengan parpol hendaknya menentukan jumlah batas minimal dan maksimal. Mekanisme pelaksanaannya, harus bersifat transparan agar dapat dipertanggungjawabkan oleh parpol kepada publik. Begitu pula aturan kampanye, harus disederhanakan. Tidak perlu lagi ada pengerahan massa ke lapangan umum. Cukup dilakukan secara dialogis di ruangan tertutup.
Tindakan merevisi untuk kebeberapa kali (lagi ?) terhadap UU Otda tersebut boleh jadi teramat penting dan mendesak dalam pandangan banyak pihak. Namun, bila hal itu bakalan mengurangi penghasilan para politisi, maka DPR agaknya akan berpikir beribu-ribu kali untuk memenuhi tuntutan itu. Akibatnya ? Kalaulah Anda memaksakan ambisi untuk ikut berlaga di arena Pilkada pada periode mendatang, konsekuensinya harus tetap membayar Pilkada dengan harga teramat mahal. Pun, kalaulah terpilih menjadi kepala daerah, mesti waspada dalam menjalankan tugas. Jangan pernah mimpi dapat mengembalikan semua dana Pilkada yang pernah dihabiskan, jika tak ingin tidur nyenyak bersama istri ditukar dengan kamar pengap bui. (Penulis: Alumnus Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Mataram).***
Catatan (tidak untuk dimuat):
- Nama lengkap penulis: Drs. H. Abdul Azim, MH – HP.08175754935.
- Alamat : Jl. TG. Lopan, Mispalah, Kel. Prapen – Praya.