Minggu, 24 Juli 2011

JODOH YANG BERBELOK ARAH


Oleh: H.A. Azim
      Rasa persaudaraan yang tinggi  menjadi sifat baik warga kampung yang patut dipuji. Karenanya, ketika salah seorang diantaranya mengalami muisibah sakit dan tengah dirawat inap di RSU Mataram, segera menunjukkan rasa empati dengan cara membezuknya.  Sore ini sekelompok warga berangkat membezuk dengan menggunakan kendaraan roda empat. Dalam rombongan ini terdapat seorang gadis cantik benama Rini. Gadis kampung ini tampak mengenakan pakaian terbagus dan bersolek cukup mencolok. Terkesan seperti hendak mau ke acara pesta.  Tak ada yang menduga kalau gadis ini sangat rindu pada sang pacar bernama Basri. Pemuda sekampung yang kini tengah kos di Mataram guna menuntut ilmu.  Ia berharap bisa bertemu di tempat perawatan Adi. Ya, siapa tahu ?  Bagi Rini, setiap kemungkinan selalu bisa terjadi.
      Sekitar satu jam menempuh perjalanan dari Praya, mobil yang mengangkut Rini akhirnya tiba di RSU Mataram. Semua penumpang turun dan langsung meninggalkan kendaraan. Rini berada paling belakang namun masih jua berhenti sejenak dan melongok ke kaca spion mobil. Rupanya ia hendak memeriksa wajah. Ia tampak mengusap-usap pipinya yang montok. Seorang teman gadisnya, Sopiah, yang berada dua jurus di depan tiba-tiba berbalik lantas dengan tingkah gemas menarik lengan Rini. “Entar ketinggalan. Mau diculik ?” sergah Sopiah sambil menggandeng Rini dengan langkah dipercepat, tak mau berjarak jauh dengan kelompoknya yang berada di depan.
      “Eh, gemana nih”, Rini menunjuk wajahnya yang tampak mulus agak mengkilat. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdegub kencang.
      “Usah kuatir. Tak ada yang membantah kecantikanmu”, puji Sopiah tanpa menengok. Mendengar ini, Rini tersenyum girang, membayangkan betapa senangnya Basri bila sesaat lagi benaran bertemu.
      Tiba di ruang perawatan yang sempit, tidak semua pembezuk bisa masuk. Mereka masuk secara bergiliran menyalami Adi yang tidur tergolek lemah. Di saat silih-berganti menyalami Adi, tampak seorang pemuda menyelinap keluar ruangan, begitu melihat Rini. Siapa lagi kalau bukan Basri, sang kekasih yang selama ini dirindukan Rini.
      “Aku sudah menduga kalo kamu akan datang membezuk”, sapa pemuda itu, amat girang.
      “Aku juga berharap kalo akan bertemu di sini. Karna kupikir sebagai teman, kau pasti ada di samping Adi. Lagi pula, tempat kosmu tak jauh kan dari rumah sakit ini ?”, Rini mencoba menebak.  
      “Kau benar. Oke, kamu salami dulu Adi, baru kita pergi jalan-jalan, sementara yang lain tetap berada di sini”, Mendengar tawaran ini, Rini tampak tertarik. Ia pun melangkah menemui Adi sekedar menyelaminya.
      “Aku ada perlu sebentar di luar bersama Kak Basri”, berucap begini pada Sopiah, Rini tampak tak sabaran melangkah keluar menemui pacarnya itu. Keduanya lantas pergi.
      Melihat itu, Sopiah sempat merasa kalau tindakan pasangan kekasih, Basri dan Rini, sebagai gelagat tak baik. Ya, di saat membezuk teman yang tengah menderita sakit, bagaimana bisa tega memanfaatkannya buat bersenang-senang ? Keduanya memang dimaklumi sebagai sepasang kekasih. Tapi, Sopiah tetap menganggap hal itu sangat tak pantas. Itu sangat tidak etis. Tapi disisi lain, ia tak sanggup menegur Rini karena khawatir temannya itu salah tanggap. Khawatir ia dibilang iri ! Takut kalau gara-gara menegur bakalan merusak hubungan persahabatannya.  
       Mengendarai sepeda motor, Basri membonceng kekasihnya ke arah Jalan Udayana. Jalan sepanjang beberapa kilometer yang kiri-kanannya merupakan area kuliner lesehan khas makanan sasak. Buka setiap hari pada sore dan malam yang selalu ramai oleh pengunjung. Tempat kongko-kongko dan senda-gurau kaum muda-mudi. Si gadis kampung Rini merasa  senang bisa menikmati jajanan lupis, terbuat dari beras ketan yang kenyal dan lengket pada setiap gigitan. Pengalaman mengesankan karena disantap bersama sang  kekasih.
      Sambil mmencicipi teh hangat, Basri memandang ke wajah pacarnya yang putih kemerahan. Lalu berucap mesra, “Mudahan saja ini bisa berlanjut sampai jenjang rumah-tangga esok.”
      “Aku bahkan membayangkan bisa membuat kue ini buat kusajikan bila telah berumah-tangga bersamamu”, sambil tersenyum Rini mengucapkan kata-kata   ini.
      “Ah, kalo saja kuliahku telah selesai, aku sudah tak sabar lagi ingin menggendongmu ke ranjang pengantin”, rayu Basri, membuat darah gadis itu berdesir hebat.
       “Kuharap kau bisa membuktikan kata-kata itu. Berapa lama sih, lulusnya ?”
      “Tinggal beberapa bulan lagi, pokoknya jangan kuatir”, kata Basri sambil melirik jam tangannya.
      “Ayolah, kita kelamaan di sini, kasian mereka yang menunggu di rumah sakit”.
      “Oke”. Berucap begitu, Basri membayar pesanan yang telah disantap kemudian meninggalkan tempat itu.
      Setibanya di rumah sakit, keduanya buru-buru ke ruangan tempat Adi dirawat. Ternyata para pembezuk yang bersama Rini tadi sudah pulang. Terang saja membuat Basri panik. Bagaimana harus mempertanggungjawabkan keberadaan Rini ?
***
      Mengetahui putrinya tidak ikut pulang bersama rombongan, membuat Bu Ijah, ibunya Rini, menjadi kaget. Lebih kaget lagi, ketika Sopiah nyerocos saja pada orang-orang di kampung kalau Basri yang membawa Rini untuk diajak kawin.  Bu Ijah pada awalnya mencoba menerima keadaan ini. Namun, Bu Salmah, ibunya Basri, justru jadi berang. Ia sejak awal, selama Basri berhubungan cinta dengan Rini,  tak pernah memberi restu pada putranya. Menurutnya, Rini itu gadis kampung yang tak tamat SD. Ini tak sebanding dengan putranya yang sebentar lagi lulus perguruan tinggi, jadi sarjana .
      “Pokoknya aku tak sudi, silakan jemput anakmu dan biarkan Basri melanjutkan kuliahnya !” kata Bu Salmah penuh emosi di depan Bu Ijah. Kedua ibu ini hidup bertetangga di Kampung.
      “Siapa suruh anakmu mau sama gadis tak sekolah ?!” jawab Bu Ijah tak kalah kalap.     Merasa  dihina di hadapan orang ramai, Bu Ijah tak kuat lagi menahan emosi. Rasanya ia mau menjambak rambut wanita tua yang banyak omong itu. Tapi, ia mencoba bersabar.  Dilihatnya satu per satu warga yang menonton pertengkaran ini. Ya, di situ seorang pemuda tanggung menampakkan wajah.
      “Udin !” Bu Ijah memanggil setengah berteriak. “Kamu segera berangkat cari adikmu dan bawa pulang,” pinta Bu Ijah. Mendengar itu, Udin tanpa pikir panjang untuk melaksanakan permintaan bibinya itu.  Ia ambil sepeda motor lalu meluncur ke Mataram.  
      “Sudahlah, jangan banyak bacot ! Sebentar juga anakku bakalan kembali ke rumah”, bentak Bu Ijah sambil masuk rumah,  membanting pintu. Ia tak ingin jadi tontonan warga sekampung.
     Mengenadari sepeda motor dengan kecepatan tinggi ditengah cuaca malam yang dingin, membuat tubuh Udin menggigil. Malam sudah mulai larut ketika tiba di Mataram. Tidak bertemu di tempat perawatan Adi, lantas Udin menemukan adik misannya, Rini, di tempat kos Basri. Terang-terangan Udin menunjukkan wajah kesal pada Basri yang menjadi biang kerok terjadinya keributan di kampung. Ia melihat Rini tengah menangis tersedu di kamar kos Basri tanpa kejelasan sikap Basri.
      “Kalian mau apa dengan cara begini ?” tanya Udin, melototi Basri.
      “Kami hendak kawin”, jawab Basri terdengar pelan, terkesan amat ragu.
      “Bagaimana itu bisa kamu lakukan, sementara ibumu mengomel tak setuju !”
      “Bawa aku pergi”, pinta Rini, tak suka kalau ibunya Basri tak merestui.
      Membayangkan ibunya yang sangat murka bila mengawini Rini, Basri tak berusaha mencegah, bahkan ia tampak pasrah ketika akhirnya Rini duduk di belakang Udin, mengangkangi sadel  sepeda motor. Rini bahkan pergi tanpa bersalaman, tidak pula berucap kata  barang sepatahpun. Hal yang membuat Basri jadi bengong.
      Sampai jauh malam, Udin yang ditunggu-tunggu dan diharapkan membawa Rini pulang tak menampakkan batang hidung. Tak pelak membuat Bu Salmah resah, khawatir kalau Basri nekat untuk kawin dan tak memberikan Udin membawa Rini pulang. Bu Ijah pun susahnya tak ketulungan karena memikirkan nasib putrinya yang semata wayang. Entah bagaimana ceritanya, ketika tiba-tiba terdengar kabar bahwa Udin yang mau mengawini Rini. Sontak terdengar tangisan hesteris Bu Ijah, memecah keheningan malam. Membuat warga kampung yang tadinya sudah tidur pulas menjadi bangun dan berkerumun lagi guna mencari tahu apa yang terjadi. Rupanya Bu Ijah tak mau terima kenyataan jika putrinya yang cantik harus dikawini oleh Udin. Pemuda berperawakan kurus agak lengkung dengan wajah jelek pula.
      Belakangan baru diketahui kalau Rinilah yang justru memaksa kakak misanya itu untuk kawin dengannya karena tak kuat menanggung rasa malu. Baginya, kawin dengan Udin, sekalipun tak saling mencintai, menjadi jawaban atas sikap Bu Salmah yang telah menolak dirinya sebagai menantu. Hal yang membuat Bu Ijah pasrah.  Karenanya, ketika tiba di Wilayah Praya, sepeda motor yang dikendarai Udin tidak membawa Rini ke Kampung kediamannya, melainkan berbelok arah menuju kampung lain, tempat tinggal salah satu keluarga dari Udin. Di situlah keduanya bermalam sampai keesokan pagi, saat harus memberi kabar bahwa keduanya siap melakukan pernikahan.***    
   
       
      
         
          
           

Jumat, 15 Juli 2011

KANIBALISME JABATAN DALAM REFORMASI BIROKRASI

Oleh: H.A. Azim
Adalah Filosof politik Italia, Niccolo Machiavelli (1469 – 1527), termasyhur karena nasehatnya yang amat jujur dalam beberapa buku. Salah satu karya tulisnya yang paling populer adalah The Prince (Sang Pangeran - 1513). Buku yang dianggap kitab suci oleh sejumlah pangeran kala itu. Napoleon Bonaparte bahkan menjadikan buku ini bantal, sehingga konon ajaran Machiavelli sangat mempengaruhi karakter kepemimpinannya.
Kalangan penganut ajaran Machiavelli, menganggap The Prince sebagai nasehat praktek terpenting buat seorang penguasa atau pangeran (dalam berbagai level dan konteks). Pikiran dasar buku ini, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu-muslihat, licik dan dusta digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Agar berhasil menjalankan taktik ini, seorang pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Jika Anda bertanya, apakah seorang pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai ?.
Dalam bab 17 buku The Prince, Machiavelli menulis: "... Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi ... lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi ... takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset”.
Kalangan penganut ajaran Machiavelli disebut machiavellis. Adanya sifat atau faham yang menjurus kepada ajaran Machiavelli dalam pola kepemimpinan dari penguasa disebut machiavellisme. Gejala machiavellisme pada seorang penguasa selalu ditandai dengan karakter diktator yang kejam. Sebutlah Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, Hitler dan sederet nama pemimpin negara lain. Dalam wajah berbeda, Fenomena machiavellisme kini juga telah merambah ke level kekuasaan bernama kepala daerah, terutama setelah diterapkan kebijakan otonomi daerah (otda) sesuai UU No. 12 Th 2008 (perubahan atas UU No. 32 Th. 2007) tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Salah satu bentuknya, adalah adanya upaya penguasa untuk menyingkirkan semua pihak yang dianggap musuh ataupun bersebrangan dengan dirinya dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpinnya.
Adanya perilaku sewenang-wenang dari oknum kepala daerah memang sejak awal dikhawatirkan oleh sang penggagas, Dr. Ryaas Rasyid, atas lahirnya UU tentang otda tersebut. Penulis ingat, dalam suatu seminar, awal 2001 di Gedung PKK Lombok Tengah, beliau mengatakan, “Dibawah UU No. 14 Tahun 1975 telah melahirkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sentralistik, dimana segala bentuk kebijakan ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Keadaan ini berbahaya bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Karenanya, mesti diatasi dengan terbitnya undang-undang otonomi daerah (waktu itu, UU No. 22 Th. 1999) yang memberikan kewenangan yang luas bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan segala potensi yang dimiliki. Tapi, lahirnya undang-undang baru itu bukan tanpa resiko. Sebab, dengan kewenangan yang luas, dapat memicu bagi timbulnya perilaku primordialisme, yakni faham kedaerahan dan kesukuan yang dapat melahirkan kelompok-kelompok kepentingan. Dalam situasai seperti itu, kepala daerah kemudian menjadi semacam ‘raja kecil’ di daerah yang mengedepankan ego kekuasaan. Keadaan ini, kata Ryaas Rasyid, justru membawa akibat yang jauh lebih berbahaya dibandingkan akibat yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistik”. Setelah 12 tahun kemudian, kekhawatiran dari Ryaas Rasyid tersebut menjadi kenyataan, sebagaimana dikatakan Sunardi Ayub, ketua Fraksi Partai Hanura DPR RI, bahwa pola penerapan kebijakan otda telah melahirkan “raja-raja kecil” yang terkadang kehilangan kontrol (Lombok Post, 28/4). Sang pangeran alias “raja-raja kecil” ini acap bertindak semaunya, antara lain, dalam apa yang disebutnya reformasi birokrasi. Celakanya, reformasi birokrasi ini hanyalah kedok untuk melakukan pemberhentian terhadap sejumlah PNS dari jabatan struktural di lingkungan pemerintah daerah. Kabag Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat, menuturkan: “Paling banyak terjadi kasus ketidakadilan pada PNS ketika musim Pilkada. Seorang kepala daerah bisa semaunya memindahkan pegawai yang dinilai bersebrangan dengannya. Ironisnya, pegawai bersangkutan menerima saja tanpa berbuat apa-apa.” (Lombok Post, 10/5). Hal itu dikemukakan terkait pengajuan RUU tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dalam rangka melindungi hak-hak PNS dalam menuntut keadilan agar ke depan dapat mengurangi tindakan kesewenang-wenangan kepala daerah.
RUU Pokok-Pokok Kepegawaian tersebut, secara implesit menjelaskan bahwa tindakan sewenang-wenang oknum kepala daerah terhadap PNS merupakkan kasus nasional. Sebuah penyakit srtuktural pemerintahan yang tengah menjangkiti negeri ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam sambutan tertulis pada Acara Peringatan HUT Korpri, 29 Nopember 2010, memang tegas menghimbau: “Jangan ragu untuk melakukan reformasi birokrasi”. Dalam pelaksanaannya, terdapat fakta membingungkan. Bahwa reformasi birokrasi di instansi pertikal (misal, instasi di bawah Kementerian Keuangan) telah berbuah remunirasi alias peningkatan penghasilan. Tetapi, reformasi birokrasi di lingkup instansi pemda justru mengundang petaka bagi sejumlah PNS, berupa pemberhentian dari jabatan struktural secara tidak prosedural; tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ibarat dipaksa menelan pil pahit tidak karena alasan sakit. Sebagaimana dialami oleh sekitar enam puluh pejabat eselon dua dan tiga di salah satu pemerintah kabupaten di NTB. Para pejabat tersebut diberhentikan dari jabatan kemudian dimutasi menjadi fungsional umum alias staf biasa tanpa alasan jelas. Ini terjadi pada periode kepemimpinan hasil pemilu kada 2004 dan 2010.
Reformasi birokrasi dalam arti remunirasi, mudah dipahami. Ini dapat memberi semangat bagi peningkatan disiplin kerja, sehingga mendorong tercapainya optimalisasi hasil kinerja. Namun, reformasi birokrasi dalam arti pemberhentian dari jabatan struktural, sama sekali tak dapat dipahami dari persfektif apapun. Kecuali Anda berpendapat; oknum kepala daerah telah mempolitisasi jabatan birokrasi Pemda. Caranya, sebagian pejabat diberi promosi pada jabatan tertentu, tapi saat bersamaan, memberhentikan sebagian pejabat yang lain dari jabatannya. Jadi, naiknya karir sebagian pejabat telah mematikan karir sebagian pejabat lainnya. Ini namanya kanibalisme jabatan ! Sebuah kebijakan berbau busuk machiavellisme sehingga sejumlah PNS menjadi tersingkir dan teraniaya. Akibatnya ? Perjalanan karier bagi PNS bersangkutan yang telah dibangun selama puluhan tahun praktis menjadi stagnan. Jelas membuat mereka tak lagi bersemangat. Bahkan, ini yang menyedihkan, marolitas mereka menjadi jatuh di mata masyarakat. Terjadi pula disharmonisasi hubungan kerja antarpara PNS. Bagaiamana tidak ? Jabatan fungsional umum tidak ada dalam struktur organisasi satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Garis komando atau perintah tugas menjadi tidak jelas. Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pun tidak ada. Akibatnya, para pejabat fungsional umum menjadi apatis karena tidak tahu bagaimana harus menjalankan tugas.
Jauh sebelum pengajuan RUU tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebenarnya telah ada PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PNS dalam Jabatan Struktural. PP No. 100 ini seharusnya mampu memproteksi tindakan kesewenangan dari oknum kepala daerah. Ketentuan Pasal 10, bahwa pemberhentian PNS dari Jabatan Struktural, antara lain, karena: a. Mengundurkan diri dari jabatan yang diduduki; c. diberhentikan sebagai PNS; d. diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan fungsional; g. adanya perampingan organisasi pemerintahan; dan lain-lain (sebanyak 10 point). Khusus dalam hal melakukan mutasi terhadap pejabat eselon II, PP No. 100 ini mensyaratkan untuk melakukan konsultasi dan dan mendapat persetujuan terlebihdahulu dari gubernur secara tertulis.
Semua ketentuan tersebut diabaikan, kecuali ketentuan hurup “d”; hal mana jabatan fungsional kemudian diaplikasi menjadi jabatan fungsional umum. Ini keliru. Sebab, nomenklatur Jabatan Fungsional Umum tidak ada dalam struktur organisasi SKPD. Yang dimaksud Jabatan Fungsional pada hurup “d” tersebut adalah jabatan fungsional khusus pada SKPD tertentu. Contoh, Jabatan Fungsional Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, Jabatan Fungsional Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Jabatan Fungsional Pustakawan dan lain-lain. Sangat disesalkan, PP Nomor 100 tersebut tidak memiliki penjelasan tentang maksud jabatan fungsional, terkait dengan ketentuan pada hurup “d”. Akibatnya, pasal tersebut telah disalahgunakan oleh oknum kepala daerah sebagai alasan pembenar atas tindakan memberhentikan sejumlah pejabat dari jabatan struktural kemudian dimutasi ke jabatan fungsional umum. Sebuah jabatan akal-akalan “seperti mahluk jadi-jadian” karena fungsional umum sebenarnya tak lebih dari staf biasa.
Atas berbagai bentuk penyimpangan pelaksanaan otda, sang penggagas awal, Dr.Ryaas Rasyid, dengan tegas menyatakan, grand design otda yang telah diterapkan selama 12 tahun ini perlu dirubah (Lombok Post, 28/4-2011). Senada dengan itu, Jakarta Lawyer Clubs (JLC), dalam sebuah acara talk show forum diskusi di salah satu siaran tv nasional beberapa waktu lalu, merekomendir bagi perlunya merevisi UU No. 12 Th. 2008 ttg Pemda. Alasannya, dibawah UU tersebut, terkait beberapa pasal yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, dinilai sebagai biang kerok atas mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada yang harus dibayar oleh masing-masing kandidat kepala daerah. Menurut Sukardi Rinakit, dari sebuah lembaga survey independen, dari 156 pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia yang dijadikan sampel, diketahui masing-masing calon kepala daerah rata-rata mengeruk dana antara Rp. 70 milyar sampai Rp. 100 milyar untuk pilkada gubernur/wagub. Sedangkan untuk Pilkada bupati/wabup dan wali kota/wakil wali kota berkisar antara Rp. 30 milyar hingga Rp. 50 milyar. Akibatnya, ketika sejumlah kandidat berhasil terpilih menjadi kepala daerah kemudian terjebak dalam perangkap pola kepemimpinan balas jasa. Penjelasannya sederhana, bahwa mahalnya biaya Pilkada telah memaksa setiap kandidat untuk menggalang dana dari berbagai pihak, termasuk dari sejumlah oknum PNS (yang menjadi gost support alias pendukung gelap). Ketika kemudian berhasil menjadi kepala daerah, tentu dituntut tanggung jawab moral untuk membalas jasa terhadap sejumlah pihak (termasuk dari kalangan gost support, yakni kalangan PNS ). Imbalan jasanya, antara lain, tentu saja berupa pemberian jabatan di birokrasi Pemda.
Akhirnya, Kalau sejumlah diktator telah menerima hukuman, seperti Saddam Hussein yang dipancung pada tiang gantung, itu adalah harga yang harus dibayar atas perbuatannya. Sementara itu, orang-orang di Kota London, Inggris, menggunakan kata olld noc yang berarti setan (diambil dari nama depan: Niccolo Machiavelli) untuk menghina setiap orang berbuat jahat. Lantas, adakah kata olld noc ini juga pantas untuk mengecam para machiavellis oknum kepala daerah yang telah berbuat aniaya pada sejumlah PNS ? Pastinya Anda bijak menilainya.***

Jumat, 08 Juli 2011

HARIMAU LEPAS DARI KANDANG Sebuah Analog Kebebasan Pers

Oleh: H.A. Azim.
Bulan ini, tepatnya hari ini, 9 Februari, bangsa kita memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Adakah yang berubah (kemajuan) dari pers kita ? Sebuah pertanyaan klise, namun terasa penting. Menjadi penting, setidaknya atas satu alasan utama, bahwa pers adalah salah satu pilar dari bangunan demokrasi. Karenanya, wajah pers suatu bangsa mencerminkan karakter demokrasinya. Menurut Wilbur schramm dalam Libertarian Theory (Teori Pers Bebas): “pers berfungsi menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah, media digunakan oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan ekonomi, melalui pasar ide yang bebas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Sepertinya teori ini telah merepresentasikan pers kita hari ini. Bahwa pers kita telah merdeka dari segala bentuk pengekangan (belenggu) pihak manapun, termasuk dari rezim penguasa. Kemerdekaan pers sesungguhnya hak konstitusi rakyat (Ps. 28f UUD ’45). Jadi, Anda jangan berpikir kalau kemerdekaan pers ini merupakan hadiah dari rezim penguasa.
Kemerdekaan pers kemudian dilegitimasi dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (kemudian disebut UU Pers). Substansi UU Pers ini secara operasional telah memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi berjalan dan berkembangnya profesi jurnalistik di negeri ini. Kalaupun terjadi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik (KEJ) menurut versi publik, hal ini menjadi otorita pihak Dewan Pers untuk memberikan penilain akhir dalam menentukan adanya tindak pelanggaran terhadap KEJ oleh wartawan. Dan, sanksi atas pelanggaran KEJ diberikan oleh Dewan Pers dan/atau perusahaan pers (Ps. 7 ayat 2 UU Pers). Dari 11 point mengenai KEJ, hampir semuanya menguntungkan insan pers (29 Asosiasi Wartawan) yang ditetapkan secara sepihak oleh Dewan Pers. Jika ada pihak yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan, maka ada hak jawab yang disediakan sebagai Ceck and balancis (penyeimbang) antara pihak pers dengan publik. Penyeimbang berupa Kolom Surat Pembaca itu adalah ruang publik yang disediakan pihak media massa. Sebuah kolom berukuran kecil di pojok atau di pinggir halaman yang jarang mendapat perhatian untuk dibaca. Kalaupun sampai ada kasus hukum yang diteruskan ke pengadilan, wartawan memiliki hak tolak dalam memberikan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran KEJ. Alhasil, UU pers ini kian memperkuat kesan; ”kini para wartawan bak harimau lapar yang lepas dari kandangnya (belenggu kebijakan rezim lama)”. Lihatlah, bagaimana ia (pers) demikian ”buas” menelan habis mangsa(obyek pemberitaan)nya. Jangankan Anda, seorang SBY yang notabene seorang presiden dengan segala kehormatannya, pun diberitakan sedemikian sadis. Anda saksikan di media elektronik dan cetak mengenai demo yang membawa seekor kerbau, dimana badan kerbau itu ditulisi: ”Su-Ba-Yu” (hurup kapital jelas mengarah pada SBY). Ditambah pula dengan foto Presiden SBY yang ditempel pada kepala dan pada pantat kerbau betina itu. Lalu, kerbau itu diteriaki ”maling, maling, maling...!” oleh para pendemo. Sebuah fakta, betapa pers kita tidak lagi bisa memilah dan memilih, mana berita yang pantas dan tidak pantas untuk disiarkan. Gaya pemberitaan seperti itu adalah anti tesis dari substansi UU Pers, dimana: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah” (Pasal 5 ayat 1)
Sistem pemberitaan pers yang tidak berpegang pada norma hukum cendrung bersifat propokatif dan mengacak-acak hak privacy. Bahkan (meminjam istilah Jenderal Wiranto), pers kerap membunuh karakter orang, termasuk publik figur. Orang yang tadinya Anda kagumi, boleh jadi dibenci sampai mati bila pers telah memberitakannya jelek. Sebuah pembunuhan karakter ! ”Lebih baik aku menghadapi seribu tentara dengan pedang terhunus dari pada berhadapan dengan (tulisan pena) seorang wartawan”, demikian Napoleon Bonaparte yang terkenal gagah berani di medan perang itu menggambarkan kehebatan (pengaruh) pers. Ini dikarenakan, pers dengan kemampuannya menggiring opini publik, dapat mengadili lewat pemberitaan sedemikian rupa. Sebutlah dalam memberitakan suatu kasus hukum. Seharusnya pers menganut kaidah hukum, yakni tidak boleh menyebut nama lengkap tersangka, melainkan menggunakan nama inisial dan tidak menayangkan wajahnya. Tetapi, kaedah hukum ini dilanggar begitu saja. Cara ini jelas saja dapat membentuk opini publik; seakan-akan seorang tersangka telah menjadi ”terpidana” dimata publik. Sang tersangka pun langsung mendapat sanksi sosial dari publik. Padahal, hakim sendiri belum menyidangkan kasus hukumnya. Begitulah, pemberitaan pers itu persis seperti anak panah. Sekali lepas dari busurnya, tak akan pernah bisa ditarik kembali. Sebab, pers adalah salah satu bentuk komunikasi massa yang bersifat satu arah. Beda dengan komunikasi tatap muka yang bersifat timbal-balik, dimana arus pesan akan berjalan dari dua arah dalam seketika antara komunikator dengan komunikan. Sedangkan pada komunikasi massa (lewat media), segala bentuk (pesan) informasi tidak bisa direspons seketika oleh publik. Artinya, sekali orang diberitakan jelek, tak mungkin dipulihkan nama baiknya hanya dengan hak jawab yang disediakan pihak pers pada terbitan (siaran) di hari lain. Fakta ini boleh jadi membuat Anda menilai, bahwa hak jawab yang diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan, hanyalah ”akal-akalan” pihak pers agar dianggap berlaku adil. Benarkah ? Pastinya Anda bijak menilai hal ini.
Akhirnya, Anda mungkin dapat menghindar dari terkaman harimau yang lepas dari kandang dengan cara bersembunyi atau berlari sekencang-kencangnya. Tapi, Anda tidak pernah bisa lari dari kejaran wartawan bila diketahui berbuat jahat. Maka dengarlah nasehat orang bijak, bahwa satu-satunya cara melarang wartawan agar tidak memberitakan hal buruk tentang Anda adalah: Berusahalah tetap berbuat baik. Selamat buat pers kita !***

Senin, 20 Juni 2011

BUI MENGINTAI ATAS MAHALNYA PILKADA

Oleh: H.A. Azim

Adalah Jakarta Lawyers Club (JLC) dalam acara talk show, forum diskusi, di tvOne beberapa waktu lalu, membahas; Mahalnya Pilkada (pemilihan kepala daerah). Tentu saja menarik. Sebab, bicara blak-blakan tentang betapa besarnya dana yang harus dirogoh pasangan calon kepala daerah untuk mengikuti Pilkada. Sedemikian mahalnya, sampai menempatkan Pilkada dalam sebuah analogi bisnis industrialisasi karena terjadi transaksi uang dengan berbagai pihak untuk menghasilkan produk bernama dukungan. Jika kandidat kepala daerah berada di luar partai politik (Parpol), maka transaksi awal dimulai dengan pihak Parpol untuk membeli kendaraan politik yang akan megantarkannya ke arena laga Pilkada. Mengendarai Parpol (tak jarang lebih dari satu), sang kandidat terus berkeliling melakukan transaksi dengan sederet pihak lain. Mulai dari perusahaan pers, media cetak dan elektronik, organisasi kemasyarakatan dengan seabrek kegiatan pertemuan, sampai kepada transaksi secara personal dengan anggota masyarakat (calon pemilih). Yang disebut terakhir paling senang dilakukan oleh tim sukses di lapangan. Celakanya, sebagian dari tim sukses ini adalah makelar sehingga uang yang seharusnya dibagi-bagi ke massa pendukung sebagiannya diembat buat keuntungan pribadi.
Itu hanyalah sedikit contoh dari begitu banyak bentuk transaksi uang yang dilakukan, sehingga kandidat pasangan kepala daerah harus membayar proses Pilkada dengan harga amat mahal. Menurut Sukardi Rinakit, dari sebuah lembaga survey independen, dari 156 pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia yang dijadikan sampel, diketahui bahwa masing-masing calon kepala daerah rata-rata mengeruk dana antara Rp. 70 milyar sampai Rp. 100 milyar untuk Pilkada gubernur-wagub. Sedangkan untuk Pilkada bupati-wabup dan wali kota-wakil wali kota berkisar antara Rp. 30 milyar hingga Rp. 50 milyar. Sedangkan Mendagri, Gamawan Fauzi, menyebut Rp. 60 milyar hingga Rp. 100 milyar yang dihabiskan oleh calon kepala daerah untuk dana kampanye (http//monitor.com - 4/5).

Bila satu pasangan calon kepala daerah mengeluarkan biaya Pilkada, sebutlah Rp. 50 milyar, ini jumlah yang pantastik. Bayangkan saja, bila Rp. 50 milyar itu dideposito pada bank dengan bunga 0,5 % per bulan, maka Anda akan memperoleh Rp. 250 juta setiap bulannya. Ini sama dengan berlipat-lipat kali besar gaji bulanan gubernur. Sebab menurut aturan, gajinya cuma Rp.8,7 juta per bulan. Sedangkan gaji bupati hanya Rp.6,2 juta. Kecuali Anda membayangkan adanya tambahan penghasilan lain-lain yang syah berupa insentif. Dari sumber ini, menurut Gamawan Fauzi, diperoleh antara Rp. 34 juta sampai Rp.90 juta setiap bulan (menurut kemampuan APBD masing-masing daerah – pen). Gamawan Fauzi mencontohkan besarnya penghasilan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, yang mencapai Rp. 100 juta setiap bulan dari gaji dan tambahan lain-lain. Berdasar perhitungan ini, Fauzi Bowo, hanya memperoleh Rp. 1,2 milyar setahun atau Rp. 6 milyar selama 5 tahun masa pemerintahannya (http//monitor.com – 4/5). Kabar baiknya, saat ini Kemendagri tengah mengkaji kemungkinan dinaikkannya gaji kepala daerah (Nurani Rakyat, 11/3). Yap, jangan cepat tergiur ! Biarpun gajinya naik seratus persen, akan sangat bijak jika Anda mempertimbangkan keluh-kesah mantan Gubernur DKI Jakarta, Surjadi Sudirdja, dalam suatu wawancara tv, berikut: ”Kalah dalam Pilkada jadi bangkrut karena telah menghamburkan uang secara sia-sia. Sedangkan bila menang pun jadi rugi, karena dana yang dihabiskan tidak akan pernah kembali dalam lima tahun masa jabatan”. Tentu saja bila melaksanakan tugas secara benar menurut aturan.
Lantas, bagaimana upaya kepala daerah terpilih untuk mengembalikan dana yang telah dihabiskan pada Pilkada dalam lima tahun masa jabatan ? Anda tidak akan pernah tahu jawabannya sampai mendapati fakta; sejumlah kepala daerah mengakhiri masa jabatannya di dalam sel bui gara-gara tersangkut kasus korupsi. Menurut Adnan Tupon Husodo, aktivis ICW (Indonesia Corruption watch) bahwa dalam kurun waktu 2004 - 2010, tercatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur, 17 wali kota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati dan 8 wakil wali kota. Estimasi kerugian negara mencapai Rp 4,8 triliun. Ia menambahkan, bahwa hampir setiap hari ada laporan yang masuk ke ICW mengenai dugaan tindak pidana korupsi oleh oknum kepala daerah. Karenanya, diluar angka yang mengalami proses hukum tersebut, masih ada puluhan kepala daerah lainnya tengah menanti giliran keluarnya ijin dari presiden untuk keperluan pemeriksaan.
Fakta tersebut tentu tidak mendapat tempat dalam kerangka penyelenggaraan good Goverment yang mengedepankan asas demokrasi, transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum dan HAM. Terjadinya kasus tindak pidana korupsi oleh sejumlah kepala daerah, diduga gara-gara pemberlakuan terhadap UU 12 Tahun 2008 (perubahan atas UU 32 Tahun 2004) tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebuah peraturan yang populer dengan sebutan UU Otda (otonomi daerah). Karenanya, sang penggagas UU Otda, Dr. Ryaas Rasyid menyatakan, grand design otda yang telah diterapkan selama 12 tahun ini perlu dirubah (Lombok Post, 28/4).
Pasal-pasal yang mengatur tentang pelaksanaan Pilkada dalam UU 12 tersebut harus direvisi agar tidak lagi menyelenggarakan Pilkada berbiaya terlalu mahal. Diantaranya; tentang transaksi keuangan antara calon pasangan kepala daerah dengan parpol hendaknya menentukan jumlah batas minimal dan maksimal. Mekanisme pelaksanaannya, harus bersifat transparan agar dapat dipertanggungjawabkan oleh parpol kepada publik. Begitu pula aturan kampanye, harus disederhanakan. Tidak perlu lagi ada pengerahan massa ke lapangan umum. Cukup dilakukan secara dialogis di ruangan tertutup.
Tindakan merevisi untuk kebeberapa kali (lagi ?) terhadap UU Otda tersebut boleh jadi teramat penting dan mendesak dalam pandangan banyak pihak. Namun, bila hal itu bakalan mengurangi penghasilan para politisi, maka DPR agaknya akan berpikir beribu-ribu kali untuk memenuhi tuntutan itu. Akibatnya ? Kalaulah Anda memaksakan ambisi untuk ikut berlaga di arena Pilkada pada periode mendatang, konsekuensinya harus tetap membayar Pilkada dengan harga teramat mahal. Pun, kalaulah terpilih menjadi kepala daerah, mesti waspada dalam menjalankan tugas. Jangan pernah mimpi dapat mengembalikan semua dana Pilkada yang pernah dihabiskan, jika tak ingin tidur nyenyak bersama istri ditukar dengan kamar pengap bui. (Penulis: Alumnus Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Mataram).***
Catatan (tidak untuk dimuat):
- Nama lengkap penulis: Drs. H. Abdul Azim, MH – HP.08175754935.
- Alamat : Jl. TG. Lopan, Mispalah, Kel. Prapen – Praya.